Manado- Insiden perusakan mimbar dan baliho bergambar Yesus Kristus di rumah ibadah milik Jemaat Advent Desa Tumaluntung, Kecamatan Tareran, Kabupaten Minahasa Selatan, Sulawesi Utara menjadi perhatian khusus legislator Nasdem di DPRD Sulut Viktor Mailangkay.
Legislator paling senior di DPRD Sulut ini berharap insiden ini adalah yang terakhir kali.
"Saya berharap ini adalah insiden terakhir. Sebagai daerah yang terkenal akan toleransi antar umat beragama yang tinggi, insiden ini mencoreng nama Sulawesi Utara di mata publik secara nasional,"tegas Mailangkay.
Mailangkay mengingatkan jika kejadian ini sangat rawan untuk dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu, untuk memicu emosional pemeluk agama tertentu, yang bisa berakibat terjadinya bentrok yang tidak diinginkan.
Untuk itu menurutnya, semua pihak harus bisa mengendalikan diri dan tidak mengambil tindakan yang bisa menyusahkan kelompok agama lain. Dikatakannya, Sulut dikenal dengan kasih, di mana hal itu diterapkan tak hanya kepada sesama tetapi juga yang berbeda.
"Saya berikan apresiasi kepada pemerintah daerah dan juga kepolisian yang proaktif dan mengambil langkah cepat melakukan mediasi, sehingga persoalan ini tidak menyebar secara luas. Ke depannya, tidak perlu dan jangan lagi terjadi hal-hal seperti ini, karena ini hanyalah merugikan kita semua. Damai itu indah," ujar Mailangkay.
Mailangkay menambahkan, terkait dengan oknum pelaku perusakan, walaupun telah ada upaya preventif yang dilakukan sebagai bentuk upaya pencegahan, tapi juga perlu ada tindakan represif untuk yang bersangkutan. Menurutnya, hal ini agar supaya ada efek jera sekaligus contoh jika hal yang dilakukannya adalah kesalahan yang tidak bisa ditolerir lagi.
"Kesalahan ini tidak boleh terulang lagi. Untuk itu harus ada efek contoh kepada yang bersangkutan, agar tidak muncul oknum-oknum yang berbuat sama di kemudian hari. Ini penting," kata Mailangkay.
Sebelumnya, Kepala Desa Tumaluntung, Jener Mandey, menjelaskan jika ada kebijakan atau kearifan lokal yang sudah ada sejak turun temurun, untuk rumah ibadah hanya ada satu di daerah tersebut yakni Gereja GMIM.
"Secara turun temurun, kita diwariskan orang tua, bisa juga dikatakan secara adat. Dari dulu tetap memegang teguh apa yang dinamakan kebersama-samaan. Orang tua kami berusaha tetap satu, dari dulu, nene tete, opa oma, hanya ada di satu gereja di Desa Tumaluntung, gereja GMIM," tukas Jener. (***/Oby)
Legislator paling senior di DPRD Sulut ini berharap insiden ini adalah yang terakhir kali.
"Saya berharap ini adalah insiden terakhir. Sebagai daerah yang terkenal akan toleransi antar umat beragama yang tinggi, insiden ini mencoreng nama Sulawesi Utara di mata publik secara nasional,"tegas Mailangkay.
Mailangkay mengingatkan jika kejadian ini sangat rawan untuk dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu, untuk memicu emosional pemeluk agama tertentu, yang bisa berakibat terjadinya bentrok yang tidak diinginkan.
Untuk itu menurutnya, semua pihak harus bisa mengendalikan diri dan tidak mengambil tindakan yang bisa menyusahkan kelompok agama lain. Dikatakannya, Sulut dikenal dengan kasih, di mana hal itu diterapkan tak hanya kepada sesama tetapi juga yang berbeda.
"Saya berikan apresiasi kepada pemerintah daerah dan juga kepolisian yang proaktif dan mengambil langkah cepat melakukan mediasi, sehingga persoalan ini tidak menyebar secara luas. Ke depannya, tidak perlu dan jangan lagi terjadi hal-hal seperti ini, karena ini hanyalah merugikan kita semua. Damai itu indah," ujar Mailangkay.
Mailangkay menambahkan, terkait dengan oknum pelaku perusakan, walaupun telah ada upaya preventif yang dilakukan sebagai bentuk upaya pencegahan, tapi juga perlu ada tindakan represif untuk yang bersangkutan. Menurutnya, hal ini agar supaya ada efek jera sekaligus contoh jika hal yang dilakukannya adalah kesalahan yang tidak bisa ditolerir lagi.
"Kesalahan ini tidak boleh terulang lagi. Untuk itu harus ada efek contoh kepada yang bersangkutan, agar tidak muncul oknum-oknum yang berbuat sama di kemudian hari. Ini penting," kata Mailangkay.
Sebelumnya, Kepala Desa Tumaluntung, Jener Mandey, menjelaskan jika ada kebijakan atau kearifan lokal yang sudah ada sejak turun temurun, untuk rumah ibadah hanya ada satu di daerah tersebut yakni Gereja GMIM.
"Secara turun temurun, kita diwariskan orang tua, bisa juga dikatakan secara adat. Dari dulu tetap memegang teguh apa yang dinamakan kebersama-samaan. Orang tua kami berusaha tetap satu, dari dulu, nene tete, opa oma, hanya ada di satu gereja di Desa Tumaluntung, gereja GMIM," tukas Jener. (***/Oby)
COMMENTS