Manado-Spirit pesta demokrasi pemilihan serentak mulai Pileg, Pilpres hingga Pilkada di tahun 2024 harus menghasilkan figur-figur terpilih yang punya integritas atau jujur serta tidak mantan koruptor.
Hal ini tersirat dari pandangan yang diberikan Pengamat Politik Sulut Ferry Liando.
Menurut Dosen Politik ini meski pelaksanaan pesta demokrasi harus menelan anggaran ratusan miliar, namun pelaksanaan Pilkada di daerah ini kerap belum melahirkan pemimpin yang baik. "Buktinya telah beberapa kepala daerah yang terbukti korupsi. Dan modus korupsi yang sering dilakukan Pertama, menarik uang bagi calon-calon pejabat yang hendak dipromosikan," terangnya.
Lebih jauh dikatakan, bahwa tindakan ini dicontohi pejabat-pejabat (yang awalnya sebagai korban) untuk melakukan hal yang sama terhadap masyarakat.
"Hal buruk yang diterima masyarakat adalah Kualitas pelayan publik yang buruk karena pejabatnya diangkat bukan karena kapasitas dan pengalaman kepemimpin (merit system,red), tapi karena uang setoran," jelas Liando lagi
Kedua, kata Liando, adalah memudahkan proses perizinan usaha tanpa kajian ilmiah.
"Hal buruk yang kerap diterima publik adalah ancaman bencana alam akibat eksplorasi dan eksploitasi SDA disekitarnya," katanya.
Sedangkan Ketiga, menurut Liando adalah pemotongan anggaran proyek fisik.
"Hal buruk yang diterima publik adalah fasilitas publik yang tidak memadai. Jalan, bangunan, peralatan, jembatan rusak parah sebelum dioperasionalkan," tutur Liando.
Keempat, katanya yaitu penggelapan atau pemotongan bantuan sosial (bansos).
"Hal buruk yang diterima publik adalah beralihnya bantuan yang harusnya menjadi hak orang-orang miskin. Putus sekolah bertambah dan pelayanan kesehatan yang tidak maksimal. Jadi semua uang yang dikorupsi itu sesungguhnya hak milik rakyat," urainya.
Begitu pun Liando membeberkan penyebab-penyebabnya.
"Bagi saya terdapat 4 penyebab.
Pertama, proses rekrutmen dan kaderisasi parpol sangatlah buruk. Proses buruk ini menyebabkan calon yang diusung tidak dibekali dengan akhlak moral yang baik," ungkapnya.
"Sebagian calon bukan hasil binaan atau didikan parpol. Mereka datang dari luar walaupun tidak jelas keberadaannya. Kebanyakan Parpol hanya tergiur dengan uang mahar dari calon," lanjutnya.
Lebih jauh diterangkan, yang kedua, biaya politik calon untuk ikut Pilkada sangat mahal.
"Mulai dari beli logistik untuk manipulasi pencitraan, sewa lembaga survey, bayar parpol atau mahar, biaya suap atau sogok pemilih agar mendapatakan suara," ucapnya.
Ketiga, sistem penegakan hukum yang lemah. Koruptor oleh UU masih diizinkan untuk jadi calon kepala daerah.
Mahkamah Konstitusi (MK), pernah membuat putusan bahwa mantan narapidana yang dilarang mencalonkan diri pada Pilkada adalah hanya mereka yang belum sampai lima tahun keluar dari penjara.
"Di luar itu, eks napi, termasuk eks napi koruptor, tetap dibolehkan menjadi calon kepala daerah. Walaupun demikian, jika saja parpol punya visi bernegara yang baik, maka tidak mungkin baginya untuk mencalonkan seorang yang pernah cacat hukum sebelumnya," nilainya.
Keempat, sistem pengawasan dan komitemen aktor-aktor di DPRD sangatlah lemah.
"Dalam banyak kasus, korupsi kepala daerah ternyata melibatkan juga oknum anggota DPRD. Ada bagian yang dinikmati secara bersama-sama atas kejahatan itu," jelasnya lagi.
"Pilkada tak sekedar hanya untuk memilih, tetapi arena untuk menyeleksi ataupun memvonis politisi yang berpotensi melakukan kejahatan.
Tidak memilih politisi yang pernah bermasalah dengan hukum merupakan bentuk pendidikan politik yang baik. Perlu pengadilan politik masyarakat untuk tidak lagi memilih politisi yang tidak amanah," pungkasnya.(ifa)
COMMENTS